10 Oktober 2020

PIKNIK DUA RIBU SEMBILAN BELAS

Oktober 10, 2020 0

Salah satu hal yang dirindukan selama pandemi adalah bisa bebas berpergian tanpa khawatir akan tertular fairus korona. Saya pribadi bukan tipe orang yang sering jalan-jalan. Kalau ada kesempatan dan ada yang ngajak piknik ya ayo aja. 

Pandemi ini mengingatkan saya bahwa waktu yang saya habiskan di tahun lalu ketika bisa bebas pergi kemana saja adalah suatu hal yang berharga. Di tahun lalu saya berkesempatan piknik ke beberapa tempat. Tidak terlalu jauh hanya sekitaran Yogyakarta dan Jawa Tengah. 

Mengawali tahun dua ribu sembilan belas, saya ikut rombongan tamasya teman-teman ibuk. Sudah lebih dari satu kali saya ikut rombongan para sepuh ini. Rasanya ikut rombongan piknik bapak-ibu yang telah purna tugas ini senang sekaligus trenyuh. Senengnya karena bisa jalan-jalan dan menikmati pemandangan. Trenyuhnya karena melihat wajah mereka yang tak lagi muda, melihat guratan keriput tanda dimakan usia, membuat saya membayangkan kelak bagaimana saya diposisi mereka. 

Perpaduan tebing dengan langit biru (dok pribadi)

Melihat bagaimana mereka menikmati perjalanan tapi juga kerepotan ketika naik-turun tangga, atau ribet dengan barang sendiri, atau riweh karena menunggu kawan sesama sepuh yang jalannya lambat atau berlama-lama disuatu tempat, hal ini membuat saya bertanya-tanya kira-kira apa yang ada dibenak para beliau ini ya? Apakah mereka jadi membayangkan masa muda mereka? Apakah mereka menyesali atau mensyukuri pengalaman di masa muda mereka? Hmmm saya tidak pernah tahu. 

Tepatnya bulan Februari tanggal sembilan, rombongan kami menuju ke Tebing Breksi dan Air Terjun Sri Gethuk. Salah satu hal yang saya syukuri bisa ikut piknik bersama mereka adalah bisa mengunjungi tempat yang dulu semasa kuliah belum pernah saya kunjungi, meskipun waktu tempuhnya hanya sekitar 45 menit sampai 1 jam-an saja. 
Hiasan atap Keraton Kasunanan Surakarta yang ngehits (dok pribadi)


Bulan September di tahun yang sama, saya ikut piknik rombongan ini lagi. Kami berkunjung ke Keraton Kasunanan Surakarta. Pertama kali kesini waktu saya masih SMP, saya tidak terlalu menikmati perjalanan dan waktu itu belum mengenal sejarah keraton yang didirikan oleh Susuhan Pakubuwana II ini. Kali kedua kesini, saya lebih menikmati dan mengamati lebih dalam kearifan keraton dan tentu saja mengambil foto lebih banyak. 

Jembatan Kerangka di Musium Sangiran Sragen (dok pribadi)

Dari sekian tempat yang dikunjungi bersama rombongan purna tugas ini, yang paling berkesan adalah perjalanan ke Musium Manusia Purba di Sangiran, Sragen. Berangkat dari Pasar Klewer Solo setelah melaksanakan sholat Dhuhur, kami harus muter-muter dulu dijalanan karena si sopir sepertinya belum berpengalaman dengan arah jalan ke lokasi. Rombongan terdiri atas dua bis, bis pertama sudah sampai ke lokasi lebih dulu. Kami sampai ke lokasi ketika musium sudah tutup, kami tiba sekitar 30 menit setelah jam kunjungan musium berakhir. 

Saya kecewa karena tidak bisa masuk musium. Sebenarnya waktu saya tahu kami akan mengunjungi Musium Sangiran saya heboh sekali, karena sudah sejak saya sekolah pengen kesana. Saya ingat dulu waktu membahas manusia purba ketika pelajaran Sejarah, saya bilang ke diri sendiri, suatu saat pengen ke Musium Sangiran, dan keinginan tersebut terwujud setelah beberapa tahun kemudian. 

Beruntung berkat lobi koordinator rombongan dengan pihak musium, kami diijinkan masuk sebentar. Yeay. Kami masuk dipandu beberapa satpam, mungkin biar kami gak terlalu lama berhenti untuk foto-foto atau baca informasi sejarah tentang manusia purba. Karena kami datang ketika musium sudah tutup, jadi kami menikmati tour dalam musium sekadarnya dan cukup terburu-buru. Yah, setidaknya keinginan saya semasa sekolah bisa tercapai hari itu :) 

Paruh tahun dua ribu sembilan belas, saya bersama keluarga besar dari bapak jalan-jalan ke Ambarawa. Kata bapak, wisata ini sebenarnya untuk melunasi janji kepada orang tua bapak. Sebelum mbah uti dan kakung meninggal, mbah uti pernah bilang kalau beliau pengen jalan-jalan ke tempat wisata yang banyak airnya. Tapi belum kesampean beliau berdua sudah berpulang duluan. Omong-omong kakung dan mbah uti meninggalnya hanya selang tiga hari, bagi saya mereka adalah sosok nyata kisah cinta sejati yang bisa saya saksikan secara langsung :)

Stasiun Ambarawa dan langit biru (dokumen pribadi)

Pertama kami berkunjung ke Musium Kereta Api Ambarawa. Disana kami melihat sejarah perkembangan kereta api, miniatur kereta api, ada juga paket wisata naik kereta api uap dari Ambarawa ke Tuntang/Jambu. Selanjutnya kami menuju ke Rawa Pening, namun karena saat itu sedang direovasi jadi kami balik arah ke daerah wisata Kampung Rawa. Tadinya saya sempat kecewa karena jadi nggak bisa naik perahu di Rawa Pening, tapi bersyukur di Kampung Rawa bisa terobati. 

Siang yang cerah di Empat Agustus Dua Ribu Sembilan Belas (dokumen pribadi)

Satu hal yang saya sukai ketika berwisata dengan perahu adalah bisa melepaskan penat pikir, bisa melamun sepuasnya, mikir sesuatu tapi kayak nggak mikir, tenang aman damai sentosa gitu rasanya. :)

Dua bulan kemudian, bersama teman-teman kantor kami piknik ke Umbul Ponggok, akhirnya keinginan waktu kuliah untuk bisa foto di dalam air kesampaian juga. Tahun 2019 tuh kayaknya banyak banget keinginan waktu kuliah yang belum tercapai akhirnya bisa terwujud. Alhamdulillah yaa ~ 

Itu juga pertama kalinya saya piknik bersama mereka setelah tujuh bulan bekerja disana dan saya mulai merasa nyaman disana. Walaupun pernah ada drama dan kegemeshan yang bikin kesel tapi kejadian itu membuat saya bisa mengenal lebih dekat sisi lain dari beberapa teman saya :)

Ada yang lagi lihat hasil swafoto dalam air, ada yang lagi ketakukan gak bisa renang terus yang satu megangin, dan ada yang entah lagi ngapain XD 

Foto diatas saat kami memcoba berenang dengan pelampung. Saya dan temen saya pernah ditegur gegara ketawa keras saat nontonin foto-foto waktu piknik ini. Aneh banget pake pelampungnya kayak kursi ngambang. wkwkw 

Setelah dari Umbul Ponggok, kami makan-makan rumah salah satu Pak TA yang juga mewawancarai saya saat seleksi kerja. Selanjutnya kami menuju Malioboro sebagai tujuan terakhir sebelum pulang kerumah. Saya dan dua temen terdekat gak ke Malioboro soalnya udah sering (halah) kami hanya foto-foto di sekitar 0 KM dan Bank BI. Sore yang cerah dan langit masih biru membuat saya kagum sama gedung Bank Indonesia yang aesthetic, kolonial vibe-nya terasa dan megah wah ~

De Javasche Bank dan langit biru sore kala itu (dok pribadi)

Salah satu hal yang paling saya syukuri di tahun lalu adalah bertemu dengan orang-orang keren dalam frame dibawah ini. Saya tidak menyangka bisa bekerja di tempat yang pada tahun sebelumnya ketika saya ikut seleksi disini saya tidak diterima. Setahun berselang, pagi menjelang siap, saat saya sedang siap-siap kerja, saya di telpon oleh seorang ibu-ibu yang langsung to do point menanyakan kesanggupan untuk wawancara. 

Foto bersama rombongan wisata dispermades (dok pribadi)

Dari sekian orang keren yang saya temui, ada salah dua yang kalau ketemu masih suka heboh. Cocok aja ngobrol dan main dengan mereka, seru pokoknya XD 

Saya kerja di kantor itu hanya sembilan bulan, setelah itu melahirkan, saya harus cara kerja di tempat lain, karena program kerja yang saya kontraki sudah habis. Kadang kalau udah janjian saya suka mampir, saya merasa agak canggung aja kalau pas main ke sana tapi nggak ada dua orang ini, hehe. Yah, walaupun sekarang saya sudah jarang mampir sih, huhu . . .

Dua orang berbaju ungu yang kalau saya ketemu mereka jadi majelis rasan-rasan, bonus nyempil satu ibu berkerudung oren yang foto dalam airnya selalu bikin ngakak, ampun ya bu, semoga pahalanya ngalir terus :)

Sekian cerita kali ini, see yaaw ~

Borobudur, 10 - 10 - 2020 | Hari sabtu yang kuisi dengan banyak rebahan dan bermalas-malasan | K 

07 Oktober 2020

NOSTALGIA MASA KECIL

Oktober 07, 2020 0
Sependek ingatan saya, masa kecil saya cukup menyenangkan. Saya tumbuh di keluarga yang amat sangat sederhana, rumah yang saya tempati dulu masih berdinding bambu dengan lantai semen kasar dan atap rumah yang sering bocor. Rumah saya dulu memiliki halaman depan yang tidak terlalu luas namun tidak juga sempit. Cukup untuk main gobak sodor atau kejar-kejar dengan teman sepermainan. Tidak lama saya tinggal dirumah itu, hanya sampai kelas dua sekolah dasar, karena suatu hal saya harus pindah. Tapi kurun waktu sekitar tujuh tahun tersebut cukup memberikan kenangan yang masih saya ingat sampai hari ini.

Saya ingat dulu sama Mbak Tata,  tetangga yang rumahnya cuma beda blok sering main masa-masakan, kalau dulu namanya pasaran, kemudian diider keliling rumah sambil bermain peran penjual dan pembeli.

Saya juga ingat dulu saya malu kalau mau gabung main sama anak-anak tetangga belakang rumah yang udah pada kumpul duluan, saya selalu mlipir jongkok dideket pohon titian, disamping rumah tetangga itu. Niatnya biar mereka lihat terus saya diajak main. Yah walaupun kadang saya harus kecewa kalau mereka gak ngajakin, haha Kalau nggak main sama anak-anak belakang rumah, saya kadang main dengan temen cowok, rumahnya seberang mushola gak jauh dari rumah saya. Kami sok-sok-an jadi manusia super dan bermain perang-perangan. Sejujurnya saya nggak mudeng tokoh apa yang diperankan jadi saya cuma ikut-ikutan.

Saya nggak punya kenangan tentang lomba 17 Agustusan, karena saya nggak pernah mau ikut lomba. Alasannya karena selain takut kalah, saya juga takut sama orang-orang yang nglihatin dan nyorak-nyorakin. Nggak tahu ya kenapa, tapi rasanya tuh kayak beban hidup banget dilihatin orang-orang tuh.Saya pernah penasaran sama rasa buah jarak, jadi saya makan dan berakhir dengan keluarnya semua nasi yang sudah saya makan. Saya pernah diam-diam ambil pisau didapur, terus pas nglewatin Ibuk yang sedang potong kain si ruang depan, tangan yang pegang pisau saya sembunyikan ke samping supaya nggak ketahuan.

Saya jalan ke kebun samping rumah, mau motong daun pisang yang pohonnya gak terlalu tinggi. Tapi bukan batangnya yang kepotong malah jari manis tangan kiri saya yang keiris. Mungkin itu akibat karena saya nggak mendengarkan nasihat Ibuk, soalnya Ibuk pernah wanti-wanti jangan main pisau, tapi karena sepengalaman saya sebelum kejadian ini saya masih aman-aman saja, yaudah lanjut dong. Bekas lukanya masih ada sampai sekarang, dan lucu aja kalau diingat-ingat, haha

Saya pernah bikin Ibuk jengkel gegara saya cuci beras persediaan rumah. Beras yang saya cuci bukan hanya sekaleng atau secukupnya kalau mau masak beras, tapi seember penampungan beras saya masukin air semua. Kalau dipikir-pikir, alasan kenapa saya cuci beras seember adalah karena selalu lihat Ibuk nyuci beras. Jadi supaya Ibuk gak perlu repot-repot nyuci lagi, bukankah lebih baik dicuci semuanya dan tinggal masak ya? Begitu pikirku. Saya nggak tahu nasib beras seember tersebut bagaimana, yang saya ingat adalah nasib saya setelah ketahuan ibuk adalah sebuah sandal meli warna biru melayang, wkwkw Sekian dulu tulisan flashback masa kecil, sebenarnya masih banyak tapi karena nggak terlalu mood nulis panjang-panjang itu dulu aja deh. See you ~

Kota Mungkid, 28 September 2020 | K | Numpang komputer kantor lagi