22 Januari 2020

Married is A Prank

Januari 22, 2020 0
DISCLAIMER : semua yang di tulis disini hanyalah pendapat pribadi, kalau tidak setuju tidak masalah, kalau mau memberi saran dan kritik silakan di kolom komentar, enjoy (^o^)'

Ini menurutku aja sih, pernikahan adalah sebuah prank yang kamu ciptakan sendiri. Kata mbak di tempat kerjaku, meskipun sudah bertahun-tahun pacaran, sifat asli pasangan itu benar-benar akan ketahuan setelah menikah. Ibaratnya waktu pacaran itu 40% yang kelihatan, nah 60% -nya itu waktu udah menikah.


Rencananya mau foto tangan aku sama kamu tapi aku sadar diri kamu-nya belum ada :)


Makanya, seperti yang aku bilang diawal, pernikahan itu ibarat sebuah prank yang kamu ciptakan sendiri, dimana kamu “menjebak” orang untuk ikut masuk dalam permainan itu. Jebakannya seaneka ragam sifat dan perilakumu atau sifat dan perilaku dia yang  tersembunyi.

Pada akhirnya, permainan saling menjebak itu akan berakhir menyenangkan atau mengenaskan, yang bisa merasakan hanya mereka.

Dulu, waktu masih jadi bucin, pengen banget nikah terus merasakan kehidupan pernikahan yang lovely dovey, punya anak yang lucu, gemes, imut-imut. Tapi setelah nggak jadi bucin, mulai banyak cari tahu, banyak baca, dan banyak bertanya, aku penasaran, orang-orang tuh ada ketakutan buat nikah nggak sih? Atau lebih takut kalo nggak nikah? Iya sama sih, aku juga lebih takut yang kedua. Tapi kalo dipikir lagi, lebih horor menikah padahal sadar diri ini belum siap, terus terjebak dalam pernikahan yang bikin hidup nggak tenang, dan malah jadi batin war seumur hidup. Naudzubillah ~

Aku belajar untuk mendefinisikan apa yang membuatku belum siap untuk menikah, ketakutan dan kekhawatiran apa yang aku rasakan kalau mengambil keputusan seumur hidup itu dan bagaimana cara mengatasinya. Dan aku rasa, hal tersebut membantu ku untuk bisa tahu apa yang aku mau.

Baca Q & A  tentang relationship di beberapa KOL instagram  bikin nambah ilmu tentang apa-apa yang harus dipersiapkan dan harus ditanyakan sebelum membangun rumah tangga. Makanya, aku terinspirasi juga buat bikin daftar pertanyaan apa saja yang bakal aku tanyain kalau misal udah ketemu jodoh, muehehe

Kalo dilihat, kayaknya ribet banget ya? Ih, ntar malah bikin ruwet terus nggak jadi nikah gimana? Nah, justru itu, dari pada malah ribet setelah menikah, malah ruwet setelah nikah? Masak mau di CTRL + Z? Aku udah tanya sama beberapa mbak yang sudah menikah, dan memang hal-hal yang mengusik di hati maupun di pikiran tentang pasangan, keluarga pasangan, pendapat pasangan tentang kita kalau kita gini atau gitu, dan lain-lain itu sangat perlu di tanyakan dan didiskusikan dalam proses menuju mahligai pernikahan.

BHAY, dari aku yang belum nikah tapi sotoy ~


Rumah, 21 Januari 2019 | Hujan menjelang ashar | K

credit foto : google

Demi Kesehatan Mental dalam Bersosial Media

Januari 22, 2020 0
Pertengahan tahun 2018, sekitar bulan Agustus,  aku mengalami sedikit masalah antara diriku dan sosial media. Baru dibulan Januari tahun ini aku tahu, bahwa yang aku alami satu setengah tahun yang lalu adalah Social Media Comparasion. Membanding-bandingkan diriku dengan orang-orang yang ada disosial media. Orang-orang itu tentu saja teman-teman yang menjadi following atau followerku di Instagram pada saat itu.


credit foto 



Pada saat itu aku merasa ada yang salah dengan diriku. Aku jadi malas, nggak mood mau ngapa-ngapain, merasa useless, nggak bisa tidur. Aku sebenarnya tahu bahwa yang aku lakukan dengan scrolling instagram itu menambah ketidakperdayaanku untuk terus membanding-bandingkan pencapaian-pencapaian itu, tapi tetap saja aku melakukannya. Rasanya aku nggak pengen  kehilangan info updatean dari teman-teman.

Sampai akhirnya aku sadar, kalau aku begini terus, aku nggak akan maju, nggak akan sembuh dari krisis diri ini. Kurang lebih tiga minggu, aku memutuskan untuk meng-unfollow semua teman-teman yang aku ikuti. Hanya satu-dua yang masih aku ikuti. Itupun bukan teman yang aku kenal dekat, aku tetap menfollownya karena postingannya tidak ada masalah denganku, bahkan kadang memberiku inspirasi.

Tahu apa yang kurasakan setelah membersihkan hampir semua followingku, dan memutuskan untuk hanya menfollow akun yang tidak membuatku menbanding-bandingkan?

Lega

Lega banget rasanya.

Hidup lebih tenang ketika nggak melihat apa-apa yang sudah dicapai orang  lain. Hehe

Ditahun 2019, aku mulai belajar sedikit demi sedikt soal kesehatan mental. Mengurangi penggunaan instagram personal. Aku punya dua instagram yang satu kugunakan untuk posting karya atau jualan. Di instagram yang lama aku mulai follow lagi teman-teman, tapi notifikasi postingan dan story mereka sebagian aku mute. WKWKW

Kalo ada yang bilang, ya fungsinya sosial media kan buat posting apa yang ingin kita posting. Iya, itu benar sekali, dan kita juga punya hak untuk tidak melihat apa yang orang lain posting. Chills ~


Rumah, 19 Januari 2019 | K

21 Januari 2020

Menggambar, Mental Issue, dan Menikah

Januari 21, 2020 0
Di tahun 2019, persoalan mengenai menggambar, mental issue, dan menikah memberikan cukup banyak ilmu dan sudut pandang baru. Ketiga hal tersebut yang juga kadang menghiasi masa kegalauan ku. Supaya lebih mudah, ku akan menjelaskan kedalam tiga bagian

MENGGAMBAR

Diawali dengan kegalauan perihal menggambar. Sejujurnya, di tahun 2018 aku melihat sebuah postingan “dakwah” yang menurutku menakutkan, membuatkan ku berpikir ulang apakah aku akan meneruskan kegemaranku untuk menggambar. Seiring berjalannya waktu, setelah mencari lebih dalam mengenai “dakwah” tersebut, perasaan ini sedikit lebih lega. Pelan-pelan, ku bangun lagi kepercayaan diri untuk menggambar.

Kemudian di awal tahun 2019, salah seorang teman dekat yang sudah “hijrah” bercerita padaku kalau dia habis mendengarkan ceramah tentang gambar-menggambar. Nasihatnya tak jauh berbeda dengan apa yang pernah aku dengar dulu. Mungkin karena aku belum memiliki pondasi prinsip yang kuat untuk mempertahankan keinginanku untuk tetap menggambar, jadi aku kembali merenungi nasib hobi menggambarku. Galau menggambar istilah untuk diriku saat itu.

Aku pikir aku sudah tidak akan galau lagi, nyatanya  keresahan itu hanya terdistrasi oleh rutinitas, tidak benar-benar menyembuhkan.

Kembali, aku pun mencari tahu lebih banyak lagi kali ini. Yah, bisa dikatakan aku mencari pembenaran, mencari validasi yang mendukung bahwa menggambar apa yang aku ingin gambar adalah tidak apa-apa.

Bagaimana aku tidak galau, nasihat atau ceramah yang disajikan padaku mengenai menggambar apa yang ingin aku , dijelaskan disana ancamannya adalah neraka. Haaahhh ~

Sampai akhirnya, aku memutuskan bahwa yang aku lakukan adalah tidak apa-apa.  Lebih dari menggambar, aku menemukan banyak hal baru mengenai keyakinan yang selama hidup aku anut. Aku mulai lebih menaruh rasa ingin tahu pada agama yang selama ini aku yakini.

Lebih dari menggambar, aku mulai mencari tahu tentang toleransi yang pada saat itu – mungkin hingga saat ini – bahkan masih sering diperdebatkan. Aku mulai mencari tahu tentang apa-apa yang disalahpahami dari agamaku. Aku mulai mencari tahu mengenai keberhijrahan. Aku mulai mencari tahu tentang agamaku yang mudah tapi sangat indah ini.

Sampai pada sebuah kesimpulan. Apa yang disampaikan  kawanku adalah pilihannya untuk menjalani apa yang dia yakini. Apa yang aku kerjakan saat ini adalah pilihanku untuk menjalani apa yang aku yakini. Cheers       ~


Rumah, 19 Januari 2019 | K