25 Februari 2019

Buku Bulan Februari

Februari 25, 2019 0

Yeay, konten Bulan Buku memasuki bulan kedua. Tapi seperti yang sudah aku duga setiap kali diawal aku selalu semangat buat bikin ini itu, baru masuk bulan kedua semangat itu sudah kendor karena saking toleransinya sama diri sendiri. Kadang suka heran sama diri ini. 

Tapi demi kelancaran blog ini, demi menjaga komitmen dengan konten bulan buku – review tipis ala-ala, maka dengan besar hati kutulislah beberapa tentang buku (yang belum sepenuhnya selesai dibaca) bulan ini ~
Check it out ~



BERTUMBUH – SATRIA DKK (BAGIAN 1) 
Penulis buku ini ada lima orang yaitu Satria Maulana, Kurniawan Gunadi, Iqbal Hariadi, Mutia Prawitasari, Novie Ocktaviane Mufti. Buku ketiga yang aku beli dari seorang penulis yang aku tahu dari tumblr. Buku ketiga yang aku beli dari Langit-Langit Creative, kadang aku ngrasa kayak bucin kalau distributor ini ngeluarin buku, bawaannya pengen punya ~ heuheu

TIM : Bulan ini aja aku beli dua buku dari Langit-langit, salah satu alasannya karena ada buku yang tidak akan dicetak lagi, kan sayang kalau nggak punya. Apalagi kubaca di goodreads isi bukunya bagus (but I dont want to put too much expectation, wkwkw). Mungkin bulan depan kalau udah mood baca dan nulis ku tulis disini.  

Buku ini adalah kumpulan cerita dan curhatan para penulis tentang perjalanan dan perjuangan hidup mereka dalam menghadapi proses bertumbuh. Sebenarnya nggak hanya mereka saja sih yang ngalamin proses ini, kita semua, makhluk hidup yang punya akal, pikiran, dan perasaan ini juga mengalami proses ini. 

TMI : Sebenarnya hewan dan tumbuhan juga bertumbuh sih. Tapi, sependek pengetahuanku tentang mereka, selain bertambah tinggi, bertambah berat, punya insting buat cari makan sampai cari pasangan (kalau hewan), aku belum tahu apakah mereka juga mengalami quater life crisis juga atau tidak, haha

Buku ini dibagi menjadi 5 Bab, dan disetiap bab punya lebih dari 20 cerita dengan judul yang berbeda. Dari sekian bagian cerita it, punya kesimpulan masing-masing yang akan menjadi inti dari permasalahan yang dibahas dibuku ini, yaitu tentang bertumbuh. Ciri-ciri orang yang bertumbuh menurut buku ini adalah : 
1.Bangun pagi 
2.Fokus pada tujuan hidupnya 
3.Tidak iri dengan pertumbuhan hidup orang lain
4.Banyak bersedekah 
5.Semakin bertambah keimanan, ketaqwaan, dan rasa syukur 

Kalau dibilang buku ini tentang agama, enggak kok. Persoalan tentang agama dalam buku ini sangat tersirat jadi buku ini bisa dinikmati oleh semua kalangan yang punya paham hidup yang berbeda. 

Dari sekian banyak cerita ada beberapa yang paling mengena dihati. Meminjam kalimatnya masgun “semacam ditampar pakai kata-kata”. Tulisan itu berjudul Sereceh Komitmen (klik disini untuk membaca) dan Berprasangka yang Baik (klik disini untuk membaca). 

Sebenarnya buku ini belum selesai aku baca, karena bacanya butuh mikir, wkwkw Sedangkan kapasitas otak bulan ini lagi nggak mood buat mikir yang berat-berat, jadi biar ilmunya nggak hanya lewat bacanya dilanjutin kapan-kapan kalau udah mood lagi hahaha XD 


AYAHKU (BUKAN) PEMBOHONG – TERE LIYE 
Another story from salah satu penulis yang bikin kobam pengen punya bukunya terus. Istilah dari benci jadi cinta itu memang ada, dulu nggak suka dan memandang remeh karya-karya Tere Liye, tapi setelah baca novel Pulang-nya beliau jadi ketagihan pengen ngoleksi semuanya~ 

Buku ini berkisah tentang hubungan Ayah dan anak. Sang Ayah adalah sosok yang gemar bercerita, menyampaikan nasihat-nasihat lewat cerita, mengisahkan pengalaman hidupnya lewat cerita, yang entah itu nyata terjadi atau hanya fiktif belaka. Si Anak, Dam adalah sosok yang selalu ingin tahu, selalu semangat mendengarkan cerita-cerita Ayahnya. Dam tumbuh dengan baik, namun menginjak umur kepala dua dia mulai tidak percaya akan cerita-cerita Ayahnya. Ketika menikah dan memiliki anak, Dam tidak ingin membesarkan anak-anaknya lewat cerita fantasi seperti yang Ayahnya lakukan. Padahal tanpa Dam sadari, dia bisa tumbuh dengan baik, memiliki pemahaman hidup yang baik, hingga memiliki karir yang sangat memuaskan juga hasil dari imanjinasi dan nasihat tersirat dalam kisah-kisah yang dia dengar dari Ayahnya. 

Hubungan Dam dengan Ayah mulai merenggang sejak Dam tahu bahwa si Ibu sakit keras hingga akhirnya meninggal. Dam selama ini menyalahkan Ayahnya karena tidak mau terbuka soal penyakit ibu, menganggap si Ayah tidak berusaha keras untuk membujuk Ibu agar mau di terapi tahun-tahun sebelum sakit Ibu kian parah. 

Dam juga menganggap bahwa, selama ini Ibu tidak pernah bahagia, dan yang lebih parah Dam menganggap bahwa cerita sang Ayah hanyalah kebohongan, namun Ayah tidak pernah mau mengakuinya. Bisa jadi karena cerita-cerita yang Ayah kisahkan untuk Dam memang benar adanya. Mungkin cerita Ayah sama tidak masuk akalnya dengan Akademi Gajah tempat Dam bersekolah. Akademi Gajah adalah sebuah institusi pendidikan dengan sistem belajar yang membebaskan murid-muridnya untuk mengeksplore apa saja. Sekolah ini bahkan tidak memerlukan ujian untuk bisa lulus. Lulusan terbaik dari Akademi Gajah adalah orang-orang yang paham akan makna hakikat hidup ini. 

Kebencian Dam akan cerita-cerita Ayahnya akhirnya sirna, tak kala sang Ayah harus menghembuskan nafas terakhir setelah sebelumnya menceritakan kisah pamungkas yang membuat Dam mengetahui jawaban-jawaban atas rasa penasaran yang selama ini menghantui hidupnya. Penasaran atas benar tidaknya cerita-cerita Ayahnya, penasaran tentang bahagia atau tidaknya hidup si Ibu, dan sebagainya. 

Jadi untuk menyimpulkan cerita dalam buku ini, akan kutuliskan beberapa kalimat dari buku ini tentang hakikat kebahagian. 
“Kebahagian itu datang dari hati sendiri, bukan dari orang lain, harta benda, ketenaran, apalagi kekuasaan.” 
“Kalau kau punya hati yang lapang, hati yang dalam, mata air kebahagiaan itu akan mengucur deras. Tidak ada kesedihan yang bisa merusaknya, termasuk kesedihan karena cemburu, iri, atau dengki dengan kebahagiaan orang lain. sebaliknya, kebahagiaan atas gelar hebat, pangkat tinggi, kekuasaan, harta benda, itu semua tidak akan menambah sedikit pun beningnya kebahagiaan yang kau miliki” 

Sekian 

Ps. Jadi setelah bulan kemarin koar-koar mau baca minimal tiga atau empat buku satu bulan, ternyata bulan ini tidak berhasil yorobun ~ -_- shame on me. Eh tapi kalau buku di wattpad juga ikut dihitung kayaknya lebih dari empat deh. Tapi karena yang di wattpad itu yang banyak mengandung unsur halu, mature, NC, dan sebagainya jadi ku tidak bisa dan tidak mau menuliskannya disini, hehehe 

24 Februari 2019 | K

24 Februari 2019

Berprasangka yang Baik

Februari 24, 2019 0
Oleh : Mutia Prawitasari dalam buku Bertumbuh
Tulisan pendukung Buku Bulan Februari

Pernahkan kamu merasa risih atas sesuatu yang dikatakan (dan tidak dikatakan) oleh orang lain? Atas sesuatu yang dilakukan (dan tidak dilakukan) oleh orang lain? Bahkan, atas sesuatu yang dituliskan (dan tidak dituliskan) oleh orang lain? 

Mereka bertanya apa kabar, kamu pikir mereka riya dan pamer. Mereka bertanya kapan lulus, kerja dimana, kapan menikah, sudah hamil atau belum, kapan punya adik lagi, dan sederet pertanyaan lain, kamu pikir mereka mengintimidasimu. Mereka menulis sesuatu yang berbeda pendapat denganmu, kamu pikir mereka menyindir bahkan menyudutkanmu. 

Pernahkan kamu merasa malu karena ternyata semua itu belum tentu benar? Yang menanyakan kabarmu, bagaimana kalau dia memang peduli denganmu? Yang bercerita tentang kebahagiaan, bagaimana kalau dia sedang belajar mensyukuri hidupnya? Yang bertanya kapan lulus, kerja dimana, dan seterusnya, bagaimana kalau dia hanya mencari cara untuk membuka obrolan kembali denganmu? Yang menulis suatu hal yang berbeda pendapatnya denganmu , bagaimana kalau dia sedang menulis untuk dirinya sendiri?

Kamu saja, mungkin yang seperti itu. Kamu saja mungkin yang kalau bertanya apa kabar, sedang ada maunya. Kamu saja mungkin yang kalau bercerita tentang kehidupan bahagiamu, sedang riya dan pamer. Kamu saja mungkin, orang lain tidak. 

Sering kali apa yang kita duga diniatkan dan dipikirkan oleh orang lain sejatinya merupakan niatan dan pikiran kita sendiri. Semakin buruk kita berprasangka kepada orang lain, seburuk itu pulalah kita tercermin. Malu kan? 

Saat kamu berharap-berprasangka terlalu baik kepada seseorang- kerap yang kamu dapatkan adalah kecewa. Namun, saat kamu berprasangka buruk, kerap yang kamu dapatkan adalah rasa malu. Dua-duanya, percayalah, salahnya bukan ada di luar, melainkan ada di dalam dirimu sendiri. Akarnya? Hanya satu, ketiadaan syukur. 

Coba periksa prasangkamu. Periksa harapmu. Periksa syukurmu. Kamu saja mungkin, yang kurang bersyukur, orang lain tidak. 

23 Februari 2019 | K

Sereceh Komitmen

Februari 24, 2019 0
Oleh : Novie Ocktaviane M dalam buku Bertumbuh
Tulisan pendukung Buku Bulan Februari

Apakah yang pertama kali muncul di benakmu ketika mendengar kata komitmen? Apakah itu harus selalu berkaitan dengan perjanjian yang dilakukan oleh dua orang dalam situasi formal, dengan pembubuhan tanda tangan hitam diatas putih? Apakah itu harus selalu berkaitan dengan suatu perjanjian yang dimiliki oleh dua orang yang memilih untuk memutuskan hidup bersama dalam bahtera bernama keluarga?

Tentunya, komitmen tidak harus melulu berkaitan dengan hal-hal besar semacam itu. Secara umum, komitmen diartikan sebagai perjanjian untuk melakukan sesuatu. Ini berarti bahwa komitemn bermakna sangat luas. Tidak hanya melakukan perjanjian dengan orang lain, tetapi juga dengan diri sendiri. Tidak hanya tentang perjanjian mahapenting, tetapi juga tentang perjanjian-perjanjian kecil dalam kehidupan sehari-hari. 

Contoh paling sederhana dari sebuah komitmen adalah janji temu, semisal dua orang yang saling berjanji untuk bertemu di sebuah tempat pada waktu tertentu yang telh mereka sepakati. Berkaitan dengan contoh ini, ada hal menarik yang sering kali terjadi tanpa disadari kedua orang tersebut. mereka seolah tahu sama tahu bahwa masing0masing akan melakukan pelanggaran. Ah, datang 30 menit lagi ajah deh! Dia juga pasti telat, kok!

Terlalu seringna hal ini terjadi membuat pelanggaran-pelanggaran serupa terasa berat sehingga menjadi pemakluman dan dianggap wajar. Mengapa komitmen berakhir menjadi seperti barang recehan? 

Saya pernah memiliki janji temu untuk menghadiri sebuah kegiatan. Sebelumnya, saya dan seorang senior yang akan saya temui berkomitmen untuk bertemu pada pukul 15.00. Aktivitas hari itu cukup menyita waktu dan perhatian sehingga membuat saya tertidur tanpa sengaja, setengah jam sebelum waktu pertemuan yang ditentukan. Saya pun bangun dengan terburu-buru dan langsung bergegas pergi. Dengan anggapan bahwa terlambat adalah hal yang biasa, saya sedikit lega. Tenanglah, orang Indonesia kan pasti telat, paling juga dia belum datang, batin saya. Tanpa diduga, ternyata senior saya datang tepat waktu. Saya jadi malu dan langsung meminta maaf atas keterlambatan saya itu.

Apa yang dikatakan senior saya sore itu? Beliau berkata “Iya, lo telat 11 menit. Mana komitmen lo untuk datang ke sini jam 3 sore? Jangan kira karena terlambat adalah hal yang biasa terus lo melakukannya juga. Tuh lihat, temen-temen lo udah stand by di dalam. Mereka bisa menepati komitmen untuk hadir tepat waktu, kenapa lo enggak? Eh, ini sama sekali bukan tentang gue marah atau apa ya. Gue cuma mau lo belajar. Telat itu bukan pilihan. Melanggar komitemn itu pilihan. Lo sadari aja keseharian lo selama ini, berapa banyak hal baik yang lo lewatkan hanya karena lo telat dan lebih memilih untuk berkomitmen sama sikap lo yang suka santai dan menunda-nunda waktu? Berapa banyak? Dengan begini, lo sebenarnya juga lagi berkomitmen kok. Bukan sama tepat waktunya, tapi sama pemikiran lo yang menganggap bahwa janji temu itu remeh, receh!

Saya jadi bertanya-tanya pada diri sendiri. Mengapa saya begitu menganggap komitmen sebagai barang murahan hanya karena dia tidak bersanding dengan hal besar? Sejak saat itu dan sampai saat ini, saya belajar untuk menghargai komitmen. Caranya? Tentunya dengan tidak sembarangan mengatakan tanpa pertimbangan serta berusaha untuk tetap mengupayakan pembuktiannya agar tidak merugikan diri sendiri dan orang lain. Satu hal yang saya pahami adalah bahwa penyikapan seseorang terhadap komitmen kecil sedikit banyak bisa menggambarkan bagaimana penyikapannya terhadap komitmen besar. 

Pada dasarnya, setiap orang yang berjanji itu memegang komitmennya masing-masing, yang membedakan adalah pada hal apa dia menaruh komitmen. Ada yang berkomitmen pada janji temu sehingga dia mengupayakan untuk hadir tepat waktu, ada juga yang berkomitmen pada rasa malas, menunda, dan membiarkan orang lain menunggu. Ada yang  berkomitmen untuk menepati janji pada diri sendiri, ada juga yang berkomitmen pada sikapnya yang terlalu sering menganggap enteng hal-hal besar. Kamu, mau pilih yang mana? 


23 Februari 2019 | K 

15 Februari 2019

Point of View

Februari 15, 2019 0
Mendapatkan ide untuk menulis ini setelah melihat begitu banyak fancam Konser Wanna One Therefore hari keempat alias hari terakhir, akhirnya masa promosi Wanna One telah selesai, para member kembali ke agensi masing-masing.

Tapi tulisan kali ini nggak akan membahas tentang Wanna One, hanya saja kadang inspirasi itu datangnya nggak diduga-duga. Ini tentang ketakutan dan keresahan saya akan sudut pandang atau asumsi-asumsi yang entah itu nyata atau hanya bayangan semata. 

(Btw di tulisan ini aku pakai kata ganti “SAYA”, udah nulis pakai “Aku” tapi jatohnya kok wagu.)

Pernah tidak? Kalian melihat status, caption, atau story orang lain yang isinya keluhan mereka tentang kerjaan atau makanan atau bahkan tentang hidup , lalu kalian tetiba berpikir “nih orang kok ngeluh sih, pokoknya aku nggak mau ngeluh kayak dia, mengeluh tuh nular, aku kudu lebih semangat dari dia!” begitu kata dalam hati. Pernah nggak? Saya? Pernah. 

Bermula ketika pagi ini saya scrolling story WA di daftar kontak, saya menemukan sebuah status dari seorang kawan dengan  foto dia sedang berkerja lalu diberi gift animasi “Mondays are Hard” tiba-tiba muncul dipikiran saya, “Ini orang pagi-pagi udah ngeluh, masih mending punya kerjaan.” Setelah berpikir seperti itu lalu saya merasa bersalah, kenapa saya harus berpikir seperti itu, saya tahu bagaimana perjalanan hidup dia saja tidak, apa yang menyebabkan saya harus berasumsi seperti itu.

Perasaan bersalah lainnya muncul ketika ada temen yang membuat status tentang keluh kesahnya di WA atau instagram lalu membuat saya berpikir bahwa saya tidak ingin membuat status keluhan seperti mereka, seakan-akan keluhan mereka adalah semangat bagi saya untuk tidak membuat status keluhan. Seakan-akan kalau saya bikin status tentang kesemangatan membuat saya lebih baik dari mereka. Tidak sama sekali. 

Mungkin keresahan ini adalah beberapa persen pengaruh dari buku-buku self improvement yang saya baca. Tadinya saya pikir, buku-buku macam ini akan membuat motivasi hidup saya menjadi lebih baik. Seringkali saya langsung setuju dengan pemaparan-pemaparan penulis tentang pandangan hidup mereka. Sampai akhirnya saya sadar, bahwa jalan hidup yang saya jalani dengan para penulis itu berbeda. Saya jadi makin sadar, sesungguhnya bukan motivasi yang saya dapatkan dari buku self improvement, tapi sudut pandang orang lain yang berbeda dengan sudut pandang kita.

Saya pikir saya dengan mudah berpikir demikian, berasumsi demikian, karena saya kurang dalam memahami sudut pandang hidup orang lain. Saya tidak tahu bagaimana latar belakang mereka, saya tidak tahu bagaimana lingkungan mereka, saya tidak benar-benar mengenal bagaimana hidup mereka, dan lagi saya tidak tahu bagaimana perjalanan hidup mereka. Ketidaktahuan saya membuat saya dengan mudah  berasumsi bahwa keluhan-keluhan yang mereka tuliskan di sosial media adalah sesuatu yang tidak penting. 

Padahal bisa jadi hal itu penting bagi mereka, sekedar menuliskan keluhan di sosial media mungkin bisa memberi kelegaan bagi mereka setelah mengeluarkan unek-unek mereka. Lalu tentang celotehan bahwa “mengeluh itu menular”, menurut saya itu tergantung kepribadian masing-masing orang. Ada orang yang biasa-biasa saja, ada orang yang jadi ikutan mengeluh atau apapun, semua tergantung mindset atau sudut pandang dalam memandang hal itu. 

Terakhir menurut saya, cara agar kita saya tidak mudah berasumsi terhadap hal-hal yang kurang menyenangkan adalah dengan memperkaya sudut pandang. Bagaimana caranya? Salah satunya dengan cara banyak membaca dan setiap kali tiba-tiba muncul pikiran untuk berasumsi yang tidak-tidak saya memcoba membayangkan bagaimana posisi saya kalau hidup seperti orang lain tersebut. 

Sekian 

29 Januari 2019 | Ulang Tahun Lee Daehwi | 2 hari pasca Wanna One disband | K