Mendapatkan ide untuk menulis ini setelah melihat begitu banyak fancam Konser Wanna One Therefore hari keempat alias hari terakhir, akhirnya masa promosi Wanna One telah selesai, para member kembali ke agensi masing-masing.
Tapi tulisan kali ini nggak akan membahas tentang Wanna One, hanya saja kadang inspirasi itu datangnya nggak diduga-duga. Ini tentang ketakutan dan keresahan saya akan sudut pandang atau asumsi-asumsi yang entah itu nyata atau hanya bayangan semata.
(Btw di tulisan ini aku pakai kata ganti “SAYA”, udah nulis pakai “Aku” tapi jatohnya kok wagu.)
Pernah tidak? Kalian melihat status, caption, atau story orang lain yang isinya keluhan mereka tentang kerjaan atau makanan atau bahkan tentang hidup , lalu kalian tetiba berpikir “nih orang kok ngeluh sih, pokoknya aku nggak mau ngeluh kayak dia, mengeluh tuh nular, aku kudu lebih semangat dari dia!” begitu kata dalam hati. Pernah nggak? Saya? Pernah.
Bermula ketika pagi ini saya scrolling story WA di daftar kontak, saya menemukan sebuah status dari seorang kawan dengan foto dia sedang berkerja lalu diberi gift animasi “Mondays are Hard” tiba-tiba muncul dipikiran saya, “Ini orang pagi-pagi udah ngeluh, masih mending punya kerjaan.” Setelah berpikir seperti itu lalu saya merasa bersalah, kenapa saya harus berpikir seperti itu, saya tahu bagaimana perjalanan hidup dia saja tidak, apa yang menyebabkan saya harus berasumsi seperti itu.
Perasaan bersalah lainnya muncul ketika ada temen yang membuat status tentang keluh kesahnya di WA atau instagram lalu membuat saya berpikir bahwa saya tidak ingin membuat status keluhan seperti mereka, seakan-akan keluhan mereka adalah semangat bagi saya untuk tidak membuat status keluhan. Seakan-akan kalau saya bikin status tentang kesemangatan membuat saya lebih baik dari mereka. Tidak sama sekali.
Mungkin keresahan ini adalah beberapa persen pengaruh dari buku-buku self improvement yang saya baca. Tadinya saya pikir, buku-buku macam ini akan membuat motivasi hidup saya menjadi lebih baik. Seringkali saya langsung setuju dengan pemaparan-pemaparan penulis tentang pandangan hidup mereka. Sampai akhirnya saya sadar, bahwa jalan hidup yang saya jalani dengan para penulis itu berbeda. Saya jadi makin sadar, sesungguhnya bukan motivasi yang saya dapatkan dari buku self improvement, tapi sudut pandang orang lain yang berbeda dengan sudut pandang kita.
Saya pikir saya dengan mudah berpikir demikian, berasumsi demikian, karena saya kurang dalam memahami sudut pandang hidup orang lain. Saya tidak tahu bagaimana latar belakang mereka, saya tidak tahu bagaimana lingkungan mereka, saya tidak benar-benar mengenal bagaimana hidup mereka, dan lagi saya tidak tahu bagaimana perjalanan hidup mereka. Ketidaktahuan saya membuat saya dengan mudah berasumsi bahwa keluhan-keluhan yang mereka tuliskan di sosial media adalah sesuatu yang tidak penting.
Padahal bisa jadi hal itu penting bagi mereka, sekedar menuliskan keluhan di sosial media mungkin bisa memberi kelegaan bagi mereka setelah mengeluarkan unek-unek mereka. Lalu tentang celotehan bahwa “mengeluh itu menular”, menurut saya itu tergantung kepribadian masing-masing orang. Ada orang yang biasa-biasa saja, ada orang yang jadi ikutan mengeluh atau apapun, semua tergantung mindset atau sudut pandang dalam memandang hal itu.
Terakhir menurut saya, cara agar kita saya tidak mudah berasumsi terhadap hal-hal yang kurang menyenangkan adalah dengan memperkaya sudut pandang. Bagaimana caranya? Salah satunya dengan cara banyak membaca dan setiap kali tiba-tiba muncul pikiran untuk berasumsi yang tidak-tidak saya memcoba membayangkan bagaimana posisi saya kalau hidup seperti orang lain tersebut.
Sekian
29 Januari 2019 | Ulang Tahun Lee Daehwi | 2 hari pasca Wanna One disband | K
Komentar
Posting Komentar