Oleh : Novie Ocktaviane M dalam buku Bertumbuh
Tulisan pendukung Buku Bulan Februari
Apakah yang pertama kali muncul di benakmu ketika mendengar kata komitmen? Apakah itu harus selalu berkaitan dengan perjanjian yang dilakukan oleh dua orang dalam situasi formal, dengan pembubuhan tanda tangan hitam diatas putih? Apakah itu harus selalu berkaitan dengan suatu perjanjian yang dimiliki oleh dua orang yang memilih untuk memutuskan hidup bersama dalam bahtera bernama keluarga?
Tentunya, komitmen tidak harus melulu berkaitan dengan hal-hal besar semacam itu. Secara umum, komitmen diartikan sebagai perjanjian untuk melakukan sesuatu. Ini berarti bahwa komitemn bermakna sangat luas. Tidak hanya melakukan perjanjian dengan orang lain, tetapi juga dengan diri sendiri. Tidak hanya tentang perjanjian mahapenting, tetapi juga tentang perjanjian-perjanjian kecil dalam kehidupan sehari-hari.
Contoh paling sederhana dari sebuah komitmen adalah janji temu, semisal dua orang yang saling berjanji untuk bertemu di sebuah tempat pada waktu tertentu yang telh mereka sepakati. Berkaitan dengan contoh ini, ada hal menarik yang sering kali terjadi tanpa disadari kedua orang tersebut. mereka seolah tahu sama tahu bahwa masing0masing akan melakukan pelanggaran. Ah, datang 30 menit lagi ajah deh! Dia juga pasti telat, kok!
Terlalu seringna hal ini terjadi membuat pelanggaran-pelanggaran serupa terasa berat sehingga menjadi pemakluman dan dianggap wajar. Mengapa komitmen berakhir menjadi seperti barang recehan?
Saya pernah memiliki janji temu untuk menghadiri sebuah kegiatan. Sebelumnya, saya dan seorang senior yang akan saya temui berkomitmen untuk bertemu pada pukul 15.00. Aktivitas hari itu cukup menyita waktu dan perhatian sehingga membuat saya tertidur tanpa sengaja, setengah jam sebelum waktu pertemuan yang ditentukan. Saya pun bangun dengan terburu-buru dan langsung bergegas pergi. Dengan anggapan bahwa terlambat adalah hal yang biasa, saya sedikit lega. Tenanglah, orang Indonesia kan pasti telat, paling juga dia belum datang, batin saya. Tanpa diduga, ternyata senior saya datang tepat waktu. Saya jadi malu dan langsung meminta maaf atas keterlambatan saya itu.
Apa yang dikatakan senior saya sore itu? Beliau berkata “Iya, lo telat 11 menit. Mana komitmen lo untuk datang ke sini jam 3 sore? Jangan kira karena terlambat adalah hal yang biasa terus lo melakukannya juga. Tuh lihat, temen-temen lo udah stand by di dalam. Mereka bisa menepati komitmen untuk hadir tepat waktu, kenapa lo enggak? Eh, ini sama sekali bukan tentang gue marah atau apa ya. Gue cuma mau lo belajar. Telat itu bukan pilihan. Melanggar komitemn itu pilihan. Lo sadari aja keseharian lo selama ini, berapa banyak hal baik yang lo lewatkan hanya karena lo telat dan lebih memilih untuk berkomitmen sama sikap lo yang suka santai dan menunda-nunda waktu? Berapa banyak? Dengan begini, lo sebenarnya juga lagi berkomitmen kok. Bukan sama tepat waktunya, tapi sama pemikiran lo yang menganggap bahwa janji temu itu remeh, receh!”
Saya jadi bertanya-tanya pada diri sendiri. Mengapa saya begitu menganggap komitmen sebagai barang murahan hanya karena dia tidak bersanding dengan hal besar? Sejak saat itu dan sampai saat ini, saya belajar untuk menghargai komitmen. Caranya? Tentunya dengan tidak sembarangan mengatakan tanpa pertimbangan serta berusaha untuk tetap mengupayakan pembuktiannya agar tidak merugikan diri sendiri dan orang lain. Satu hal yang saya pahami adalah bahwa penyikapan seseorang terhadap komitmen kecil sedikit banyak bisa menggambarkan bagaimana penyikapannya terhadap komitmen besar.
Pada dasarnya, setiap orang yang berjanji itu memegang komitmennya masing-masing, yang membedakan adalah pada hal apa dia menaruh komitmen. Ada yang berkomitmen pada janji temu sehingga dia mengupayakan untuk hadir tepat waktu, ada juga yang berkomitmen pada rasa malas, menunda, dan membiarkan orang lain menunggu. Ada yang berkomitmen untuk menepati janji pada diri sendiri, ada juga yang berkomitmen pada sikapnya yang terlalu sering menganggap enteng hal-hal besar. Kamu, mau pilih yang mana?
23 Februari 2019 | K
Komentar
Posting Komentar