Seberapa besar rasa ini untukmu dan seberapa lama waktu yang kuhabiskan untuk menunggumu. Sudah setahun sejak kamu meinggalkanku tanpa alasan, dan aku masih menunggumu ditempat pertama kali kita bertemu, berharap kamu akan pulang, merindukanku dan menceritakan semua yang telah kau simpan sejak kau tinggalkan aku.
Entah mengapa aku masih yakin denganmu dan aku yakin kamu akan pulang membawa sejuta kerinduan yang teramat dalam terhadapku, aku disini menunggu kamu pulang, tak peduli hujan turun membasahi tanahku berpijak, aku hanya yakin bahwa kamu akan pulang. Aku sedang menyiapkan rumah ternyaman untukmu, dimana nanti menjadi pesandaran terakhirmu. Aku dan kamu selamanya.
Yogyakarta, 12 Januari 2014
***
“Nisaaa!!” suara seorang wanita paruh baya memanggil gadis yang dari tadi sibuk menulis buku harian yang selalu dibawa kemanapun dia pergi. “Ngapain dari tadi duduk disitu? Nanti kesambet lo. Daripada duduk-duduk nggak ada kerjaan mendingan kamu bantuin Bulek Sumi di dapur, dari tadi kerja sendirian nggak ada yang bantuin.”
“Iya Bu” jawab Nisa singkat, ia sedang malas untuk berdebat dengan ibunya.
“Ibu mau ke warung dulu, mau beli kecap, soalnya didapur tadi kecapnya kurang.” kata Ibu.
“Kalo Nisa saja yang beli gimana bu? Biar ibu yang bantuin Bulek dibelakang? Hehe” kata Nisa mengajak bercanda ibunya. Tapi si Ibu malah sewot menjawab, “Halah, nggak usah, nanti kalo kamu yang beli malah mrepet-mrepet beli yang lain, sudah Ibu saja. Sana kamu cepetanudah ditungguin bulek dari tadi.” Kata ibu sembari menaiki sepeda onthel tuanya.
“Iya deh, iya. Ibu hati-hati!” seru Nisa sembari melihat punggung ibunya yang beranjak jauh.
Nisa hanya tinggal dengan Ibunya dirumah tua peninggalan kakek Nisa. Ayahnya sudah meninggal sejak Nisa masih kelas 5 SD, dan ibunya memutuskan untuk tidak menikah lagi. Ibu ingin tetap setia dengan ayah Nisa walau maut telah memisahkan mereka. Hal ini yang membuat Nisa ingin seperti Ibunya yang selalu setia dengan Ayahnya. Nisa juga ingin seperti itu, setia dan menunggu orang yang benar-benar dia cintai. Orang yang pertama kali bisa membuat Nisa nyaman dan banyak bercerita tentang dia dan keluarganya. Nisa bukanlah orang yang banyak bicara, dia lebih sering menjadi pendengar setia saat bermain dan bercerita dengan teman-temannya. Namun, pada pemuda ini Nisa berbeda, dia bisa sangat terbuka sekali, dan pemuda itu juga banyak bercerita tentang dirinya. Nisa merasa nyaman saat berdua dengan pemuda ini, dan dia merasa pemuda ini juga merasakan hal yang sama.
Perkenalkan nama pemuda itu adalah Nata Atmaja. Dia keponakan Pak Bejo yang menjabat sebagai Lurah di desa Nisa. Dia datang ke desa dalam rangka KKN, kebetulan sekali Nata ditempatkan di desa Pakdenya sehingga dia tidak perlu kerepotan mencari tempat untuk menginap, dia datang bersama 15 kawannya dari Universitas ternama di Jakarta.
Nisa dan Nata bertemu pertama kali dibaah pohon rambutan depan rumah Nisa, saat itu Nata dan dua orang temannya sedang kebingungan mencari alamat rumah warga. Saat itu Nisa sedang menyapu halaman dan melihat tiga pemuda yang sedang kebingungan. Nata dan kedua temannya bertanya pada Nisa dimana rumah Pak Sobirun, ternyata rumahnya hanya dua blok dari rumah Nisa. Nata tersenyum pada Nisa, manis sekali. Membuat jantung Nisa untuk sepersekian detik berhenti berdetak.
Semenjak pertemuan pertama mereka, Nisa dan Nata jadi sering ketemu. Karena Nata sering datang ke rumah Pak Sobirun untuk melakukan observasi, dan sepulangnya dia mampir ke rumah Nisa hanya sekedar untuk menyapa.
Nata banyak bercerita tentang keluarganya yang saat ini dilanda ketidakharmonisan. Hubungan Mama dan Papa sedang tidak sehat. Mama Nata minta cerai karena Papanya ketahuan mesra-mesraan dengan wanita lain. Nata sering tidak betah dirumah, sehingga dia sering menginap di kos temannya. Untungnya dia sudah semester 6 sehingga dia bisa pergi sementara dari rumah selama 6 bulan untuk menjalankan tugas kuliahnya. Dia nggak mau kalau masalah keluarganya jadi mengganggu kuliahnya. Dari yang Nisa lihat, Nata adalah seorang yang bersemangat dalam pendidikannya dan bercita-cita untuk mengabdi pada masyarakat. Nisa kagum pada Nata.
Nisa juga bercerita banyak tentang kehidupannya. Sehari-hari dia hanya menjadi pembuat kue kemudian dititipkan ke warung-warung disekitar rumahnya. Nisa tidak melanjutkan kuliah, dia hanya lulus SMA. Sebenarnya Nisa ingin sekali melanjutkan kuliah, namun dia tahu bagaimana kondisi keuangan keluarganya. Untuk menghidupi biaya sehari-hari selain mengandalkan uang pensiunan ayah, ibu Nisa berjualan makan dipinggir desa, dekat dengan tempat wisata didesa itu. Ibu Nisa tidak mengijinkan Nisa untuk pergi berjualan juga, Ibu menyuruh Nisa untuk mengikuti kursus yang ada di desanya kelak, Nisa bisa kerja di kota dengan layak. Nisa tidak mau membantah ibunya, karena dia tahu perjuangan ibunya sudah berat. Saat ini Nisa sedang menjalani kurus menjahit, kelak dia ingin jadi desaigner dan memiliki butik di kota.
Tapi sayang, semua itu kini hanya ada didalam kenangan Nisa, Nisa hanya bisa tersenyum saat mengingat itu semua. Nata pergi tanpa pamit dan hanya meninggalkan sepucuk surat berisikan “aku akan pulang” . Hanya tiga kata yang dituliskan, tapi itu sangat berarti bagi Nisa. Nisa masih yakin kalau Nata akan kembali padanya. Nisa hanya perlu untuk menunggu.
Kini genap dua tahun Nisa menunggu Nata. Ibunya kini memiliki usaha catering kecil-kecilan. Nisa kini bekerja di sebuah Butik di pinggir kota. Kadang dia juga menjahit baju untuk tetangga. Surat pemberian Nata masih terlipat rapi terselip dibalik lembaran-lembaran kertas diarynya.
‘Nata, entah sampai kapan aku harus menunggumu. Aku akan tetap setia menunggumu pulang. Sudah kusiapkan tempat terbaik untukmu di hatiku dan dihidupku. Atau kamu telah menemukan rumah yang nyaman sekarang? Dan enggan untuk keluar. Aku harap ketika kamu beranjak dari tempat ternyamanmu, dan telah lelah mencari rumah yang baru, aku tetap disini untukmu. Kau bisa menggunakan kompas yang kuberikan untuk menuntunmu padaku. Aku akan tetap menunggumu Nata.’ – Nisa
@kekenkade – Yogyakarta, 17 Januari 2014
Komentar
Posting Komentar