Tulisan ini adalah Karya Febriani
Eka Puteri dalam buku Mind Traveler sebagai pelengkap tulisan
Buku Bulan Maret. Tulisannya murni karya beliau nggak aku tambah maupun kurang
satupun. Selamat membaca.
19 Desember 2014
22.06
Air jatuh berirama membasahi
setiap pohon, tanah, dan bus yang saya tumpangi. Bus yang entah akan membawa
saya ke mana, bertemu siapa, belajar apa, dan apa-apa lainnya. Dua jam
menerawang kegelapan bias cahaya lewat jendela dengan segudang pertanyaan. Bus pun
berhenti disebuah tempat, tempat
pelatihan selama empat hari, pelatihan
yang saya pun tak tahu ngapain dan tak tahu kenapa bisa ikut. Seseorang
berbicara dengan suara memecah gemericik air hujan deras, memberitakan tentang
pembagian kamar. Saya pun dengan spontan mengikuti rombongan entah siapa, masuk
ke kamar paling pojok, sebuah ruangan dengan sepuluh kasur, lima di atas dan
lima di bawah, dengan sepuluh orang yang saling asing. Saya memilih kasur di
bawah tanpa memilih-milih sebelah siapa.
Meski sekamar, kami bersepuluh
dalam keseharian hanya berinteraksi saat malam, yaitu selepas acara selesai, dari
jam 10 malam hingga jam 1 – 2 pagi, kemudian tidur dan bangun jam 5 subuh
bersiap-siap untuk kegiatan yang diawali dengan mandi air dingin di Lembang
musim hujan. Teman yang posisi kasurnya di sebelah kasur saya, dia menjadi
orang pertama yang saya lihat saat bangun dan menjelang tidur, selama tiga
malam. Ada momen ketika kami bertatapan, lalu ketawa; ketawa untuk hal yang
belum kami komunikasikan, namun sama-sama dipahami. Ya mungkin itu namanya
chemistry dan satu frekuensi.
Seiring berjalannya waktu, di
malam terakhir , saya menyadari bahwa sembilan teman sekamar saya ini merupakan
cerminan diri saya sendiri. Si A yang rusuh, si B yang hahahihi, si C yang
kritis dan mempertanyakan eksistensi Tuhan, si D yang sedikit sombong, si E
yang pemalu, si F yang berantakan, dan yang lainnya. Malam terakhir itu menjadi
puncak perbincangan dan diskusi, bukan tentang diskusi training hari itu, melainnya diskusi tentang apa yang dirasakan,
dipikirkan, beban masa lalu, harapan masa depan, dan saya mengungkapkan apa
yang saya rasakan kepada penghuni kamar ini, tentang kesamaan frekuensi, satu
pemikiran. Teman sebelah kasur saya
tiba-tiba ngomong “Tuhan mempertemukan orang sesuai kelompok rohnya, jadi kita
ini diciptakan dalam kelompok-kelompok, yang sejenis akan dipertemukan.” Definisi
satu frekuensi versi dia. Cuma tiga
malam, gak tau kenapa sayang sama sembilan orang ini, meski interaksi hanya di
kala malam.
Sebulan berlalu, komunikasi tidak
seintens sebelumnya disebabkan kesibukan masing-masing di kota masing-masing. Saya
pun iseng stalking dan bacain tumblr
dan blog satu-satu, hahaha … lalu terkejut. Ternyata bukan hanya satu frekuensi
saat training saja, bahkan si ini si
itu ternyata satu pola pikir, satu visi, cita-cita yang serupa; selain perilaku
yang seperti cermin, pola pikir, perspektifnya pun setipe meski dengan background yang berbeda (ada psikolog,
guru, ekonom, entertainer, anak
informatika, anak manajemen, dari Jawa, Sumatra, dan Makasar).
Teringat perkataan Tan Malaka
bahwa air berkumpul dengan air, minyak berkumpul dengan minyak, setiap orang
berkumpul dengan jenis dan wataknya. Dari situ, saya menyadari dan berpikir
tentang orang-orang yang datang dan pergi, tentang orang-orang yang bisa
ditoleransi dan tidak, tentang pertemuan-pertemuan yang bikin bersyukur,
tentang baiknya Tuhan yang selalu memberi teman di setiap perjalanan hidup,
tentang ketenteraman, kasih sayang, kekuatan, kesendirian, dan banyak hal
lainnya.
Komentar
Posting Komentar