Sebenarnya ini udah pernah aku posting di wattpad, tapi karena aku baru aja merombak tampilan blog supaya lebih baik dari sebelumnya dan aku juga menambahkan page khusus untuk cerpen dan postinganku yang tentang cerpen juga udah kadaluwarsa soalnya udah tahun tahun dulu banget, jadi ku postinglah cerita ini. Selamat Membaca
credit foto |
BGM
The Rain - Perempuan Hujan
***
"Kau tahu kenapa aku menyukai hujan?"
"Karena kamu suka bau tanah basahnya?"
"Bukaan."
"Karena kamu suka yang sejuk sejuk?"
"No noo.."
"Karena kamu jadi inget aku?"
"...."
***
Aku masih ingat sore itu, bersamamu, di tempat itu. Tempat dimana pertama kali aku bertemu dengan mu dan juga tempat terakhir kali kita bertemu.
Aku masih ingat dengan jelas saat kita berbicara tentang hujan. Tentang kesukaanmu pada hujan. Tentang kesukaanku pada kesukaanmu.
Iya. Aku juga suka hujan. Aku suka hujan karena aku suka kamu. Aku ingin seperti hujan yang bisa disukai kamu. Aku suka hujan karena kamu juga suka hujan. Aku tidak selalu suka pada apa yang kamu suka. Tapi aku suka hujan. Karena hujan selalu mengingatkanku padamu.
Kamu tahu aku suka hujan. Tapi kamu nggak tahu alasan kenapa aku suka hujan. Kamu tahunya aku suka hujan jauh sebelum mengenal kamu. Padahal aku suka hujan ketika aku tahu kamu.
Kamu mungkin nggak tahu. Tapi jauh hari setelah pertemuan pertama kita. Aku mulai menempatkan nama kamu dalam diriku. Aku ingin mengenalmu lebih jauh. Aku ingin tahu tentang kamu. Dan aku berakhir sebagai penguntit nomor satumu.
Kamu mungkin nggak ingat, tapi aku ingat. Saat pertama kali kita bertemu, kita masih sama-sama pakai seragam sekolah. Aku tahu dimana sekolahmu. Lalu pada hari selanjutnya aku datangi sekolahmu. Hanya untuk melihatmu. Hanya untuk memastikan bahwa kamu memang sekolah disitu.
Dan sepertinya semesta mendukungku. Kamu memang bersekolah disitu. Setelah hari itu aku mulai melancarkan aksiku untuk menguntitmu.
Kubuka laman website sekolahmu. Kucari daftar akun siswa siswi sekolahmu. Ternyata mencarimu di dunia maya adalah mudah. Kutemukan akun twittermu. Kutemukan akun facebookmu. Bahkan kutemukan akun blogmu yang sengaja kamu cantumkan di profil twittermu. Dari situ kutemukan tulisan tulisanmu. Dan kebanyakan tentang hujan. Kamu sangat suka hujan.
Karenamu setiap hujan aku jadi ingat kamu. Kini aku percaya dengan pepatah
"Books influence your thought and friends influence your character"
Mungkin karena aku sering baca tulisan tulisanmu tentang hujan. Aku jadi sering memikirkan tentang hujan dan tentang kamu juga. Aku terpengaruh olehmu. Aku juga jadi suka menulis tentang hujan.
Beruntungnya aku akan alam yang selalu mendukung untuk bisa bertemu denganmu lagi. Aku harap kamu masih ingat. 17 belas hari setelah pertemuan tidak sengaja kita, kita bertemu lagi. Aku yang tadinya sempat marah-marah pada temanku yang sembarangan mendaftarkan namaku untuk kepanitian acara pameran daerah itu akhirnya bersyukur dan berterima kasih padanya telah membuatku mempertemukan denganmu. Aku sempat berpikir bahwa temanku adalah malaikat yang diturunkan Tuhan dari langit untuk memdapatkanmu.
Pada kesempatan itu akhirnya kita bisa berkenalan. Meskipun jauh dibelakang aku sudah mengenalmu. Aku senang kau bisa tahu namaku. Aku senang ketika kita saling bertukar info akun sosial media masing-masing. Dan aku senang ketika kau menanyakan tentang twit-twit-ku yang sering kali puitis tentang hujan. Padahal sebenarnya aku sengaja membuatnya supaya menarik perhatianmu.
Ya. Semenjak mengenalmu secara langsung aku mulai menyusun strategi agar kau tertarik padaku.
Sampai suatu hari, setelah beberapa bulan kedekatan kita ...
"Kamu tahu kenapa aku menyukai hujan?"
"Karena kamu suka bau tanah basahnya?"
"Bukaan."
"Karena kamu suka yang sejuk sejuk?"
"No noo.."
"Karena kamu jadi inget aku?"
"...."
"Karena kamu jadi inget aku?"
"...."
"Kok diem? Jadi karena kamu jadi inget aku, kamu suka hujan?"
"Bukan."
Glek. Menelan ludah.
"Lalu? Karna apa?"
"Karena aku membencinya. Karena aku tidak suka. Karena aku ingin melupakannya."
"Kenapa?"
"Karena kejadian buruk itu."
"Kejadian apa? Kamu nggak ingin cerita sama aku?"
Senyum.
"Kenapa?"
"Aku nggak siap buat cerita. Mungkin nggak akan siap."
"Kenapa?"
"Kamu nggak perlu tahu. Karna sekarang aku udah baik-baik saja. Aku udah bisa menerima itu semua."
"Tapi. Kenapa?"
"Kenapa mulu dari tadi. Haha"
"Iya. Terus apa?"
"Aku suka hujan karena aku membencinya. Aku benci karena kejadian itu saat hujan. Aku nggak suka. Aku ingin melupakannya. Tapi semakin aku ingin lupa semakin pula aku merasa sakit. Lalu aku sadar ..."
"Lalu kamu sadar. Karena?"
"Sadar bahwa semakin aku membencinya semakin aku tidak bisa melupakannya. Semakin aku ingin melupakannya semakin aku sakit didalam sini. Lalu aku sadar, bahwa cara terbaik untuk melupakannya, cara terbaik untuk tidak sakit karenanya adalah dengan menerimanya."
"Maksudmu?"
"Menerimanya bahwa itu semua adalah bagian dari hidupku yang tak bisa dihilangkan. Merelakannya, bahwa kejadian itu adalah satu master piece yang merubah hidupku menjadi seperti sekarang. Dan memeluk semua rasa sakit itu menjadi satu ikatan, menjadi satu bagian bahwa, haaah ini adalah bagian dari hidupku. Jadi aku menerimanya."
"Lalu apakah kau merasa sakit saat melihatku sekarang?"
"Tidak. Hanya saja..."
"Hanya saja kenapa?"
"Hanya saja kadang aku sedikit frustasi karena tulisan tulisanmu itu."
"Frustasi kenapa?"
"Aku bingung menjelaskannya bagaimana. Hal itu membuatku senang tapi sekaligusnya ada sesak didalam sini. Aku tidak tahu kenapa dan jangan tanya kenapa. Hehe"
Glek. Menelan ludah.
"Hey, aku sudah tidak apa-apa sekarang. Dan jangan karena aku cerita ini padamu lalu kamu jadi berhenti menulis tentang hujan. Aku tetap menyukai tulisanmu. Rasa sakit itu tak seberapa sekarang. Kau tenang saja. Aku tetap menyukainya."
Senyum. Sedikit terpaksa.
***
Aku ingat seminggu kemudian setelah cerita itu. Kamu pindah, katamu karena orang tuamu dipindah tugaskan. Kamu mengajakku bertemu untuk terakhir kalinya ditempat favorit kita. Tidak banyak yang kita bicarakan. Kamu hanya bilang agar aku tetap hidup dengan baik dan tetap menulis tentang apa yang aku suka. Dan kamu juga memberikanku sepucuk surat.
Dalam surat itu kamu bilang.
"Mari kita bertemu lagi saat ulang tahunku yang ke 25, ditempat biasa. Kalau saat itu kamu belum memiliki seorang yang mendampingi hidupmu. Aku mau menikah denganmu. Haha"
Dan disinilah aku berdiri sekarang. Aku menunggumu. Aku menagih janjimu. Tapi sejujurnya aku sudah menyiapkan hati untuk kemungkinan terburuk. Aku sadar bahwa surat itu dibuat saat kita masih umur labil. Dan aku tidak yakin bahwa kamu akan menepatinya. Aku akan tetap menerimanya apapun hasil hari ini. Bahkan sampai sekarang aku masih tidak tahu kejadian buruk apa yang telah menimpamu dulu.
Sebenarnya diusia dewasa ini aku bisa saja mencarimu lewat sosial media seperti dulu. Tapi sengaja tidak aku lakukan. Aku hanya tidak ingin mengulang kejadian lalu dimana aku suka menguntitmu yang sampai sekarang kamu mungkin tidak tahu.
Terkadang memang harus ada kejadian-kejadian yang tetap harus menjadi rahasia. Seperti rahasiamu dan rahasiaku. Dan kita menerimanya.
Dan aku akan menerimanya jika kamu memang tidak menepati janji di suratmu. Seperti kamu menerima kejadian buruk yang menimpamu. Aku menerimanya seperti kamu menerima hujan yang kamu membuatmu perih.
The End
oleh Keken
Komentar
Posting Komentar